Kamis, 03 Desember 2015

Artikel Wisata Madura - Masjid Agung Sumenep



 Masjid Agung Sumenep
Sumenep adalah kabupaten yang berada paling timur di Pulau Madura atau tepatnya 166 kilometer disebelah timur Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). Embel-embel buruk tentang masyarakat Madura memang menjadi buah bibir masyarakat negeri ini. Dari budaya Carok (perkelahian dengan senjata celurit), santet, pribadi yang temperamental, keras, dan kejam, menjadi cerita kelam bagi sebagian bangsa ini.
Padahal, sejarah yang melintas di pulau penghasil garam itu sulit ditemui, bahkan nyaris tidak ada pada suku lainnya. Hal ini dibuktikan dari sejumlah bangun an sejarah atau petilasan warga Sumenep yang mengadopsi budaya bangsa asing.
Jika kita becermin pada arsitektur Masjid Kudus, salah satu masjid dengan arsitektur yang unik di Pulau Jawa, yang terlihat hanyalah perpaduan arsitektur Jawa, Hindu, dan Buddha. Namun, mencermati Masjid Agung Keraton Sumenep, akan terlihat jauh berbeda. Masjid di kawasan alun-alun atau jantung Kota Sumenep itu berarsitektur unik dan nyaris tiada duanya di nusantara.
Dalam prasasti Masjid Agung Sumenep, yang ditulis dengan huruf Arab Pegon dan Jawa Kuno, pada sisi kiri dan kanan pintu gerbang bangunan masjid, disebutkan bahwa masjid tersebut dibangun pada 1779 Masehi atau 1193 Hijriah oleh Panembahan Somala atau dikenal dengan nama Panembahan Asiruddin.
Dikisahkan, pada saat itu, keberadaan Masjid Laju yang merupakan masjid keraton pertama, sudah tidak dapat menampung jamaah. Panembahan Somala kemudian menggagas untuk mendirikan masjid yang punya daya tampung lebih dari 2.000 orang dan monumental. Ia lalu mengangkat pamannya, Kiai Pekkeh, menjadi kepala tukang. Dalam perencanaan, Kiai Pekkeh kesulitan menangkap keinginan Panembahan sehingga selama beberapa bulan pembangunan tidak terlaksana.
Konon, Panembahan Somala melakukan shalat istikharah. Ia kemudian mendapat petunjuk bahwa di Desa Pasongsongan terdapat tukang keturunan bangsa Cina yang terdampar di pesisir desa itu. Ternyata petunjuk itu benar, salah seorang tukang di desa tersebut ada yang keturunan Cina, bernama Lauw Phia Ngo, cucu dari Lauw Khun Thing, salah seorang dari enam pemuda asal Cina yang terdampar di Pasongsongan. Mereka melarikan diri dari daratan Cina akibat perang besar.
Saat itu Panembahan memberi kebebasan pada Lauw Khun Thing untuk melakukan ekspresi seni pada bangunan masjid. Lauw Khun Thing ternyata bukan sekadar tukang bangunan. Ia melakukan ekspresi yang luar biasa.
Pertama, ia membangun pintu gerbang dengan mengadopsi arsitektur dari berbagai bangsa. Pintu gerbang utama masjid dibangun mirip klenteng. Ada cungkup utama yang duduk di atas bangunan yang menurun pada sisi kanan dan kirinya yang mirip lekukan tembok Cina
Bangunan berlantai dua itu pada ujung atas cungkupnya terdapat empat kepala naga menyembul di atas kubah yang tingginya kurang lebih 80 meter. Ekornya turun ke bawah melilit sudut cungkup. Ventilasi bangunan dibuat bundar dan diberi ornamen seperti matahari yang bersinar. Sabuk bangunan yang memisahkan cungkup dan bangunan lantai dua diberi ornamen bergaya Eropa, berupa seni swastika sepanjang tangga kiri dan kanan. Pada bangunan lantai dasar, terdapat dua rumah tahanan yang menghadap ruang utama masjid.
Dulunya rumah tahanan adalah sel bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal. Setiap mereka yang melakukan tindakan kriminal akan menjadi tontonan jamaah masjid, sehingga memberi efek jera pada pelakunya. “Lauw Khun Thing memang luar biasa. Pada masanya ia sudah bisa membangun masjid semegah dan secanggih itu,” paparnya.
Kemiringan bangunan cungkup pintu gerbang yang 80 derajat itu tingkat kesulitannya sangat tinggi. Di era modern, para tukang cat masjid saat melakukan pengecetan sering mengeluh kesulitan dan ada perasaan takut ketika berada di atas cungkup.
Pada bagian bangunan utama masjid, yang disangga dengan sembilan tiang sebesar dua pelukan lengan orang dewasa dengan tinggi 30 meter, menjadi penyangga jati balok persegi empat dengan ukuran besar menunjukkan keistimewaan bangunan.
Bangunan utama masjid, dengan tujuh pintu berukuran masing-masing tiga meter dan enam jendela masjid dengan ukuran dua meter, membuat ruang utama masjid menjadi sejuk. Masjid ini memiliki dua mihrab, yang mengapit tempat imam shalat dan yang dilapisi dengan keramik Cina.
Pada pucuk mihrab yang berbentuk cungkup, terdapat hiasan dua mata pedang yang kerap kita saksikan pada film-film kungfu. Pada samping kanan dan kiri mihrab, terdapat ukiran pahat batu berupa bunga. Demikian pula pada daun pintu masjid, terdapat ukiran kayu dengan motif kembang nan indah, mirip sebuah piktograf (ukiran yang bisa dikidungkan dan bercerita).
Di atas tempat imam masjid, dulu terdapat pedang perak Arab dan Cina, bertengger menyilang di dinding atas. Sayangnya, pedang Cina itu kini raib, yang tersisa hanyalah pedang Arab.
Pada bagian kusen pintu, jendela dan jerujinya sangat kental dengan gaya arsitektur Belanda sehingga Masjid Agung Sumenep adalah akulturisasi berbagai peradaban seni bangunan bangsa-bangsa di dunia. Masjid Agung Keraton Sumenep juga memiliki menara setinggi kurang lebih 50 m dan berdiameter 150 cm, mirip dengan menara miring di Prancis.
Lauw Piango, Arsitek Mesjid Agung Sumenep
Mesjid Agung berdiri di tengah kota Sumenep. Pintu masuknya persis berhadapan dengan Taman Kota Adipura Sumenep. Letak mesjid ini tidak terlalu jauh dengan bangunan sejarah lainnya yang ada di kota Sumenep, seperti Keraton Panembahan Sumolo.
Mesjid ini merupakan salah satu dari mesjid tertua yang ada di Indonesia dan masih terawat dengan baik hingga saat ini. Mesjid Agung Sumenep dibangun atas prakarsa dari Panembahan Sumolo  atau Pangeran Natakusuma I (1762-1811). Dan sebenarnya, mesjid ini adalah pemugaran dari mesjid Laju yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa, beliau sendiri pernah pula menjabat sebagai Adipati Sumenep (1626-1644). Kala itu, Pangeran yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma,  menganggap mesjid Laju sudah tidak dapat lagi menampung jumlah jemaah Islam di kota Sumenep yang semakin bertambah.
Rencana pemugaran mesjid Agung Sumenep dilakukan setelah pembangunan Keraton Sumolo  selesai dikerjakan, yakni sekitar tahun 1752.Merasa puas dengan melihat hasil karya seorang arsitek Cina dalam membangun keraton Sumolo, kemudian beliau menugaskan kepada arsitek tersebut untuk merancang sekaligus memugar masjid Laju.
Adalah Lauw Piango, seorang arsitek China yang diberi kepercayaan untuk merancang dan membangun mesjid Laju, yang sekarang dikenal dengan nama masjid Agung Sumenep. Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang pertama datang dan menetap di Sumenep. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari kota Semarang akibat adanya perang “Huru-hara Tionghwa” (1740 M).
Lauw Piango seakan-akan telah melakukan kolaborasi arsitektur lokal dengan arsitektur Arab, Persia, India dan Cina. Kolaborasi tersebut merupakan representasi dari kehidupan sosial budaya yang berkembang pada masa itu.
Lihat saja bentuk gerbang utama mesjidnya yang melengkung terbuat dari kayu. Bentuk pintu gerbang yang sama dengan pintu gerbang Keraton Sumolo. Diatas pintu gerbang utama terdapat bedug ukuran besar peninggalan mesjid Laju. Sebagai penyanggah gerbang utama yang kokoh dan besar, dibangun pula tembok bagian depan yang setebal setengah meter. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa corak kebudayaan Portugis tampak nyata pada bangunan bagian depannya.
Terdapat pula kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan dan kiri halaman masjid, nampak mewakili arsitektur Arab-Persia. Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas yang menjulang tinggi berbentuk tajuk mengingatkan kita kepada bentuk-bentuk candi di Jawa dan kerajaan Hindu di Bali. Tidak hanya itu, ada pula penambahan ornamen-ornamen yang menggunakan warna-warna cerah menyala, yang secara tegas menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama. Perhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Dari tinjauan arsitektural, mesjid Agung Sumenep memang telah menjadi bukti adanya akulturasi kebudayaan pada masa silam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Dengan memperhatikan fisik bangunannya saja, seperti menganut eklektisme kultur desain dengan menggabungkan berbagai unsur budaya.
Sejarah telah mencatat, pembangunan mesjid Agung dimulai pada tahun 1779 dan selesai tahun 1787. Terhadap masjid bersejarah ini, Pangeran Natakusuma I berwasiat yang ditulis pada tahun 1806, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar